opini tentang siswi ngaku anak jenderal
Nama :
Nabilah Aidahnanda Ganari
NPM :
14115887
Kelas :1KA10
SISWI NGAKU ANAK JENDERAL SAAT
KONVOI
Medan - Polisi memberhentikan satu unit mobil yang
ditumpangi pelajar karena dinilai melanggar aturan lalu lintas saat berkonvoi
seusai UN di Medan, Sumut. Setelah diberhentikan, seorang siswi yang berada di
dalam mobil itu lantas bertindak arogan.
Tindakan itu terjadi ketika polisi lalu lintas memberhentikan satu unit mobil Honda Brio BK 1428 IG melintas dengan pintu belakang terbuka di Jalan Sudirman, Medan, Rabu (6/4/2016) sore. Namun, salah seorang pelajar siswi dari salah satu sekolah yang ada di Medan saat berada di dalam mobil itu protes terhadap petugas karena mereka menilai ada mobil lain yang melanggar aturan.
Menanggapi
hal itu, personel polantas ingin membawa mobil yang ditumpangi pelajar itu ke
kantor polisi. Sontak, salah seorang siswi berambut panjang dengan seragam yang
telah dicoret-coret itu pun tersulut emosi dan mengaku anak jenderal.
Miris melihat perlakuan anak-anak yang kehilangan akal dan selalu menyiptakan emosi dimana mereka lagi dikeadaan yang sedang tak menguntungkan. Sehingga mengeluarkan segala cara agar mereka tidak disalahkan.
Sama halnya yang terjadi pada siswi yang
mengaku anak jenderal di Medan yang diketahui bernama Sonya Ekarina Depari
siswi dari SMA Methodist, jalan Hang Tuah, Medan Sumatra Utara yang berprofesi
sebagai model. Yang sedang melakukan aksi nya selesai UN bersama
teman-temannya.
Yang dapat dijadikan pertanyaan yang
bermakna adalah “Apa dengan berkonvoi yang melanggar peraturan, dapat membuat
semua kepenatan detik-detik Ujian Nasional menjadi lega? Apa tidak ada cara
lain ? ”. Seharusnya jika memang mereka anak yang terpelajar dan terdidik,
meraka tau apa itu peraturan dan harus diapakan dengan peraturan tersebut.
Apalagi mereka lulus dari SMA, yang itu dapat dikatakan segala masalah tidak
hanya diselesaikan dengan emosional semata. Apalagi jika sudah tau salah lalu
malah menyalahkan pihak penghukum dan tidak berlaku sopan serta menuntut balik.
Disamping itu, salah satu siswi dari SMA
Methodist tersebut mengaku anak Jenderal dengan percaya diri. Hal tersebut
menjadikan masalah ini menjadi bahan hujat yang dibilang tinggi peminatnya.
Jika diperhatikan, mangapa salah satu siswi tersebut dapat berbicara seperti
itu dengan lantang adalah dimana dia sedang berada di posisi yang tidak
menguntungkan bagi dirinya. Sehinggga dengan beraninya dia bertindak tanpa
tidak tahu apa kedepannya. Jika memang dia ngaku anak Jenderal, mengapa dia
harus berani melawan peraturan dan mengapa pula dia merasa bangga dengan dia
anak Jenderal semua peraturan bisa dilawan. Padahal semua hukum berlaku disemua
kalangan. Sungguh hal tersebut tidak pantas untuk disombongkan dan diangkuhkan.
Terlebih lagi, dia merupakan model, yang
sama halnya menjadi public figure. Sudah siswi terpelajar, ngaku anak Jenderal,
dan terlebih public figure. Itu sudah sanat patut kewajibannya untuk menuntun
semua teman-temannya.
Jika dibuat pertanyaan “hukuman apa yang
pas untuk permasalahan ini? Apa solusi terbaik nya?” . Untuk sementara hukum
sosial pasti ada karena sudah tidak bisa dipungkiri di negara yang ditegakan oleh
hukum. Seperti contoh hujatan para netizen.
Sanksi harus tetaplah sanksi. Nah
bagaimana dengan pertanyaan “Mengapa kasus diberhentikan?”
Kalo boleh berpendapat, hukuman tetap
saja hukuman. Jika memang dia berani melakukannya maka harus juga berani
menerima konsekuensinya. Itu bukan hal yang tidak wajar lagi untuk
diperdebatkan. Dan ini juga hal yang bukan hal harus ditutupi. Hatuhilah hukuman
setara apa yang dia lakukan. Karena hukum berlaku untuk semua kalangan. Hukuman
diadakan untuk keadilan dan tida menzalimi diri sendiri
Dan siswi-siswi tersebut merupakan orang
yang terpelajar. Tidak hanya hukum di pemerintah saja. Seharusnya hukuman dan
pengarahan harus juga terlintas di para benak guru-guru pengajarnya. Ini juga
merupakan tanggung jawab sekolah. Karena emosional dan pendidikan adalah bagian
pembelajaran dari sekolah juga, termasuk didikan dasar moral etika. Walaupun
kejadian ini secara kebenaran diluar tanggung jawab sekolah lagi.
Berbeda ilmu pelajaran (Matematika,
IPA/IPS dll) dengan ilmu moral etika. Ilmu pengetahuan dapat kita pelajari
dengan waktu singkat tetapi moral etika aadalah hal terpenting dan
mudahdipelajari tetapi sulit untuk dipergunakan. Melihat dari kasus ini, dapat
juga hukuman tersebut dijatuhkan dengan memasukkannya ketempat yayasan bina
sosial. Itu juga merupakan hukuman setara dengan umurnya.
Sebenernya seperti ini merupakan hal
yang lumrah sekali untuk ditemukan. Dan ini hanya merupakan satu contoh dari
sekian banyaknya. Kita dapat berkaca dari kejadian seperti ini.
Salah nya kebanyakan orang adalah denga
derajat lebih tinggi kita dapat melakukan apa saja. Dari masalah ini kita
jangan hanya memandang hukuman apa yang harus dijatuhkan. Tetapi bagaimana cara
kita bertindak. Tidak hanya ini saja, mungkin di publik banyak sekali terjadi
yang seperti ini. Masalah ini merupakan contoh dari segala yang terjadi.
Sebenernya banyak hal lain yang dapat
dilakukan dengan tidak adanya konvoi. Seperti mengadakan acara besar yang hanya
dilakukan sebatas disekolah saja. Atau pun kumpul-kumpul makan bersama. Dan
juga bisa dijadikan ajang bakti sosial.
Sebagai para penyimak seharusnya kita juga belajar
dari apa yang telah terjadi. Kita telaah dan jangan hanya menjudge saja. Karena
sekarang hampir dari semua orang membumikan budaya hedonis, angkuh, arogan yang
kelamaan menjadi watak karakter yang membangun anak-anak kedepannya. Dari sini
kita juga belajar melihat, mendengarkan dan merekam bahwa kejadian tersebut
janganlah kita contohkan.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar